Corak Umum Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Pemikiran Syeikh Mustafa Al-galayaini
Pada sisi lain Syeikh Mustafa Al-galayaini dipengaruhi oleh
al-Ghazali. Hal ini dapat dibutikkan bahwa kitab „Izat An-Nasyiinterdapat
kutipan pemikiran al-Ghazali, misalnya penjelasan al-Ghalayaini tentang anak
didik (al-Ghalayaini, 2000: 182).
Ciri khas yang paling menonjol dalam kitab „Izat An-Nasyiinkarya
Syeikh Mustafa Al-galayaini ini yang disusun dengan gaya pidato dengan berbagai
poin yang menjadi tema pokoknya sekaligus dilengkapi dangan solusi-solusi dan
langkah-langkah ke depan yang lebih baik.
Untuk memahami pemikiran seorang cendekiawan secara objektif, kita
harus memberikan perhatian pada situasi dan kondisi yang melingkupi realitas
zamanya. Karena kondisi itulah yang mendorong seorang cendekiawan untuk
mengartikulasi gagasan, pandangan, dan sikapnya. Kondisi itulah yang mendorong
untuk menentukan metode yang dia tempuh untuk mengekspresikan segala
ide-idenya. Bahkan, cendekiawan yang berhasil adalah mereka yang mampu
menjadikan dirinya cermin atas realitas zamanya. Kemudian, dia juga berusaha
menjadikan pemikirannya sebagai solusi efektif untuk memecahkan tantangan
realitas yang semakin maju. Dia akan dianggap lebih berhasil, apabila dia
sanggup mengubah sisi negatif bagi perjalanan kehidupan kedepan, dan
memanfaatkan perubahan yang ada demi kemaslahatan masyarakat (Mu‟thi, 2000:
84).
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa, beberapa faktor
yang mewarnai pemikiran seseorang diantaranya, adalah pertama, kebutuhan
masyarakatdan penguasa akan sistem ajaran tertentu. Kedua, ortodoksi yakni paham
yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin yang pembentukannya tidak lepas dari
kepentingan-kepentingan keduniawian. Ketiga, sumber ajaran islam, al-Qur‟an dan
al-Hadits, yang tertuang dalam bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab
pada tempat dan waktu tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi
orang-orang yang masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad SAW. Keempat,
adanya kecerendungan manusia untuk bebas dari suatu pihak yang lain. Kelima,
adanya pertentangan kepentingan. Demikian juga tingkat intelegensi,
kecerendungan, latar belakang kependidikan, perkembangan ilmu pengetahuan,
kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lainya memberikan warna
terhadap paradigma pemikirannya(Maragustan, 2000: 43).
Pada bab di atas telah disinggung mengenai latar belakang
kehidupan, perjalanan menempuh pendidikan, serta pergulatannya dengan dunia
karir al-Ghalayaini, walaupun tidak begitu lengkap dan mendetail. Namun
demikian, setidaknya dengan pemaparan di atas bisa menjadi sebuah patokan
tersendiri untuk menelusuri sejauh mungkin paradigma berpikirnya al-Ghalayaini
tentang konsep pendidikan akhlaknya yang dituangkan dalam menulis kitab „Izat
An-Nasyiin tersebut. Sebab karya tersebut boleh dibilang bukan sebuah karya
utuh dan sistematis sebagai sebuah tulisan ilmiyah berbentuk buku sebagaiman
karangan-karangan yang lain. Tulisan tersebut merupakan essai bebas yang dia
tulis dari balik jeruji besi. Karena disilah beliau mengalami proses pencerahan
diri yang sangat luar biasa berartinya, yakni pencerahan secara intelektual dan
spiritual. Baginya penjara bukan merupakn tempat yang menakutkan yang bisa
memasung kreatifitas berpikir dan menulis gagasan-gagasan aktual mengenai
kondisi riil moralitas remaja Lebanon pada saat itu. Karena ketika kebebasan
berbicara sudah dibungkam, maka tidak ada pilihan lain kecuali tulisan-tulisan
kritislah yang harus di kemukakan kearah publik. Hal inilah yang dilakukan
al-Ghalayaini menghadapi rezim yang otoriter.
Lebih jauh al-Ghalayaini dalam sejarah kehidupannya kaya akan
pengalaman bergumul dengan gejolak sosial dan politik yang sudah mengarah pada
kondisi anomie, kondisi masyarakat dimana agama, pemerintah dan moralitas telah
memudar keefektifannya, akibat keakutan dan krisis Psiko-sosial yang terjadi.
Al-Ghalayaini dengan getol melakukan refleksi kritis dengan menggagas lahirnya
tata kehidupan yang normatif-etis. Dalam kondisi yang serba sulit itulah, tidak
dapat dipungkiri akan kemungkinan terjadinya clash (benturan). Pemikiran dan kepentingan
berbagai pihak baik dikalangan atas maupun kalangan masyarakat bawah. Ini
berarti kondisi sosial-budaya yang dihadapi al-Ghalayaini tampak mirip dengan
kondisi sekarang ini. Dengan demikian, kajian terhadap pemikiranya, terutama
terkait dengan lingkup akhlak (moral) yang belum banyak disentuh, di satu sisi
dinilai relevan-fungsional bagi upaya menyumbangkan penemuan solusi
problem-problem kontemporer di atas, dan di sisi yang lain bagi upaya
memperkaya khasanah pemikiran teoritik khusus akhlak (moral) dan pendidikan.
Al-Ghalayaini sangat apresiatif terhadap otonomi akal atau
kebebasan dalam melontarkan sebuah gagasan. Menurutnya, fungsi akal dapat
dipandang sebagai sumbu keutamaan dan sumber moral (akhlak).Akal dalam
pandangan al-Ghalayaini tidak hanya sekedar mudrik (berfungsi mengatahui),
melainkan juga sebagai hakam (pemutus/penentu baik, buruk). Jadi pendidikan
yang dikehendakinya adalah yang mampu menyadarkan peserta didik akan realitas
yang dihadapi dengan cara yang mengakibatkan mampu melakukan tindakan efetif
terhadap relitas tersebut. Untuk merealisasikan ini, hal mendasar yang perlu
digarap adalah dengan pendidikan akal.Sebab dengan akal manusia mampu memahami
taklif Allah dan mengatur kehidupan dunia ini.
Dengan demikian, dalam pendidikan akhlak, al-Ghalayaini beriontasi
pada pembentukan kesadaran dan kepekaan akhlak (Basyiroh Akhlaqiyah) seseorang,
sehingga ia mampu membedakan antara perilaku yang baik dan buruk, melalui
penajaman kritisisme (al-tahlil al-aqli watanmiyat al-aql) (al-Ghalayaini,
1949: 182). Dengan berakhlak seperti ini hanya bisa terbentuk melalui penalaran
dan kesediaan diri dalam memenuhi berbagai macam aturan dan putusan.
Sinopsis Kitab ‘Izat An-Nasyiin
Menjadi sebuah keniscayaan, seorang pengarang dengan yang lain
memiliki karakter dan warna tersendiri. Perbedaan ini dipengaruhi latar belakan
kehidupan, misalnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dalam berkarya dan
kecenderungan pengarangnya.Background inilah yang kemudian memunculkan satu
benuk karakteristik tersendiri dalam hasil karyanya.
KarakteristikMustafa Al-galayaini dalam kitab Idhatun
Nasyi‟inkental dengan muatan keagamaan seperti: pendidikan, budi pekerti, dan
sosial budaya. Untuk itukitab Idhatun Nasyi‟in karangan SyekhMustafa
Al-galayaini dapat dikategotikan menjadi 3 hal:
1. Hal-hal yang
berupa pengembaraan seseorang dalam menjalani proses kehidupan di mana kemudian
akan menemukan sebuah bentuk jati diri yang sejati, tetapi hal tersebut harus
ditunjang dengan sikap dan perilaku yang baik tentunya. Karena dengan menemukan
bentuk jati dirinya iaakan berkembang menjadi kenal sesama maupun Tuhannya.
2. Hal-hal yang
berbicara tentang perenungan seseorang untuk melalui berbuat baik terhadap
sesamanya sebagai bentuk manifestasi dari ajaran Islam. Kerena dengan
menjadikan Islam sebagai ajaran agama maka keselamatan akan mudah diraih, baik
didunia maupun diakhirat.
3. Mengenai
sosial-politik. Wacana tentang sosial-politik utama di Libanon pada waktu itu
nampaknya berjalan kurang harmonis. Hal ini terlihat oleh berbagai macam
kepentingan antar kelompok sehingga memunculkan sebuah pemikiran adanya suatu
masalah dalam pemerintah yang kontra konsep dan realitas. Selanjutnya berkenaan
dengan sinopsisi kitab tersebut, bahwa kitab ini secara keseluruhan berisi
tentang ajaran moral dan menjalani proses kehidupan dengan nuansa pribadi yang
penuh optimisme. Sehingga kemudian akan tercipta sebuah komunitas masyarakat
yang benar-benar menjujung tinggi moral dan mencegah akan terjadinya dekadensi
moral yang sudah demikian parah.
Adapun tema-tema yang tertuang dalam kitab tersebut terdiri dari
empatpuluh empat tema, diantaranya sebagai berikut:
1. Berani maju
kedepan
2. Sabar
3. Kemunafikan
4. Keikhlasan
5. Berputus asa
6. Harapan
7. Sifat licik
atau penakut
8. Bertindak tanpa
perhitungan
9. Keberanian
10. Kemashlahatan umum
11. Kemuliaan
12. Lengah dan waspada
13. Revulusi Budaya
14. Rakyat dan pemerintah
15. Tertipu oleh perasaan
sendiri
16. Pembaharuan
17. Kemewahan
18. Agama
19. Peradaban
20. Nasionalisme
21. Kemerdekaan
22. Macam-macamnya kemerdekaan
dan kebebasan
23. Kemauan
24. kepemimpinan
25. orang-orang yang ambisi
menjadi pemimpin
26. Dusta dan sabar
27. kesederhanaan
28. Kedermawanan
29. Kebahagiaan
30. Melaksanakan kewajiban
31. Dapat dipercaya
32. Hasud dan dengki
33. Tolong menolong
34. Sanjungan dan Kritikan
35. Kefanatikan
36. Para pewaris bumi
37. Peristiwa pertama
38. Nantikankah saat
kebinasaanya
39. Memperbagus pekerjaan
dengan baik
40. Wanita
41. Berusahalah dan tawakallah
42. Percaya pada diri sendiri
43. Tarbiyah atau pendidikan
44. Nasehat terahir
Inilah gambaran singkat mengenai biografi dan perjalanan karir
beserta paradigma berpikirnya Syeikh Mustafa Al-galayaini, diharapkan ke depan
kita dapat memanfaatkan ilmunya sehingga kita benar-benar menjadi insan yang
berkualitas dan berguna bagi diri sendiri, bangsa, dan negara.amin.
0 Response to "Corak Umum Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Pemikiran Syeikh Mustafa Al-galayaini"
Posting Komentar